Refleksi
akhir September
Manusia Berfilsafat Manusia
A. Pemikiran
tentang Manusia
Manusia bersifat material/fisik
(MATERIALISME) karena ia menempati ruang
dan waktu, memiliki keluasan (res extensa), dan bersifat objektif. Sebaliknya manusia bersifat spiritual
(IDEALISME), dapat berfikir (res cogitans).
Perilaku manusia merupakan perwujudan dari energi-energi (kekuatan) yang
ang tidak rasional (VITALISME), keputusan manusia dianggap rasional sebenarnya
adalah rasionalisasi dari keputusan yang tidak rasional, didasari oleh energi,
naluri, atau nafsu yang tidak rasional.
Manusia sebagai proses menjadi, gerak yang aktif dan dinamis
(EKSISTENSIALISME), tetapi manusia merupakan makhluk yang tidak bebas, yang
terstruktur oleh sistem bahasa dan budayanya.
Manusia adalah makhluk pemikir. Manusia berfikir bahwa merekalah yang menempati
posisi yang sangat sentral dan penting. Manusia sebagai pekerja atau pencipta
didunianya. Manusia makhluk unik, yang tidak dapat disejajarkan dengan makhluk
lainnya, karena ia juga hidup dengan penglaman-penglamannya, ide-idenya,
imajinasi-imajinasinya, harapan-harapannya (Dilthey). Manusia juga sebagai
subjek sekaligus objek bagi telaah ilmu humanistik.
Dengan jiwa rasionalnya, manusia
mampu berfikir secara sadar, membuat norma sosial, serta menyusun
kebajikan-kebajikan moral. Jadi dalam diri manusia ada sesuatu penggerak yang
sensitif mengiringi kehidupannya yakni jiwa. Menurut Descartes, jiwa mengalir
kedalam rongga-rongga otak , keluar menuju saluran-saluran dan bergerak menuju
syaraf-syaraf sehingga jiwa itu dapat mengubah bentuk otot-otot sehingga
menggerakan anggota tubuh. Hal ini diilhami oleh mengemukakan bahwa rasio dan
fungsi-fungsi intelektual jiwa lebih fundamental dari pada pengalaman indrawi.
Pengamatan melalui indra atau penglaman kongkrit menurut Descrates dapat menipu
dan sepenuhnya tidak nyata. Sesuatu itu nyata karena sedang difikirkan.
Manusia dengan kemampuan berfikirnya
dapat menempatkan suatu kesadaran akan dirinya. Kesadaran atau intelek atau
rasio adalah hakikat dari jiwa (Schopenhauer), ia merupakan permukaan jiwa.
Dibawah intelek terdapat kehendak yang tidak sadar, suatu daya atau kekuatan
hidup yang abadi, atau keinginan yang kuat. Intelek tangan kanan dan pelayan
kehendak. Kehendak permanen didalam jiwa, pemersatu ide-ide dan
pemikiran-pemikiran dan akhirnya membentuk karakter individu. Intelek
kemampuannya terbatas tetapi kehendak mampu terjaga terus menerus tidak pernah
merasakan lelah.
Melalui suatu pemikiran manusia dapat
merasakan dirinya lebih unggul. Akibatnya maka
sebagian manusia merasa menjadi superior dari yang lainnya. Manusia
mempunyai keinginan untuk berkuasa, ini mengorbankan perasaan cinta akan
kedamaian dan keamanan. Setelah itu timbul kelicikan, balas dendam, permusuhan,
perbudakan dan sebagainya. Kehendak untuk berkuasa dari manusia yang merasa
lebih unggul (filsafat Nietzsche) akan mampu melangsungkan hidupnya dan
berjaya, sedangkan yang lainnya terpuruk dan musnah (teori evolusi).
Secara umum manusia mengalami tahap
perkembangan akal. Pertama manusia mengalami tahap teologis mulai dari
fetiyisme dan animisme, politeisme, sampai monoteisme. Tahap berikutnya tahap
metafisis, yang merupakan modifikasi dari tahap teologis. Pada tahap ini
bentuk-bentuk supranatuaral digantikan dengan kekuatan-kekuatan abstrak yang
lebih nyata yang dipersonifikasikan seperti kodrat, kehendak Tuhan, roh,
absolut, tuntutan hati nurani, keharusan mutlak, kewajiban moral dan
sebagainya. Yang terakhir tahap positif (Aguste Comte), dimana hal-hal yang
abstrak tidak lagi dijelaskan secara apriori, melainkan berdasar pada
observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan teliti. Tugas akal mencoba
mengobservasi gejala dan kejadian secara empiris dan hati-hati untuk menemukan
hukum-hukum yang mengatur gejala dan kejadian itu. Comte mengembangkan ilmu
pengetahuan positif dimana ia harus objektif, berulangkali, menyoroti setiap
fenomena alam yang berhubungan dengan fenomena lain. Karena itu landasan yang
ilmu pengetahuan bersifat naturalistik dan deterministik atau tunduk pada hukum
alam.
Keberadaan manusia didunia
menimbulkan persoalan-persoalan seperti kesenangan, kebebasan, kecemasan,
penderitaan, kebahagiaan, kesepian, harapan, dan sebagainya.
Persoalan-persoalan itu melibatkan semua manusia, semuanya menjadi berbenturan satu dengan yang
lainnya. Oleh karena itu semua itu harus
dilandaskan pada rasa tanggung jawab, sebagai pembatas dari kebebasan yang didengungkan
oleh penganut idelaisme. Oleh karena itu tanggung jawab menjadi hal yang
fundamental. Kebijaksanaan lah akhirnya yang melandasi tanggung jawab, untuk menentukan
sikap dan perbuatan kita.
Menurut Kierkeaard keberadaan
manusia melalui tahap-tahap estetis, etis, dan religius. Tahap pertama manusia
berorientasi untuk mendapatkan kesenangan dirinya sendiri. Sedangkan tahap yang
kedua mulai menjalani dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang dirasakan
universal bagi semua kalangan. Pada tahap terakhir keotentikan manusia sebagai
subjek mulai meikirkan nilai-nilai religius yang diterima oleh akal sehat tetapi tidak mempertimbangkan rasionalitas
dan pertimbangan ilmiah.
Perkembangan hasil olah fikir manusia,
menuntun pada sebuah kesadaran. Kesadaran (menurut Husserl) adalah kesadaran
yang tidak kosong, ia selalu berkaitan dengan kutub objeknya yang disadari
dalam keadaan berkorelasi dan berdialektis. Dengan demikian kesadaran mengarah
pada objektifikasi, identifikasi, kaitan dengan objek lain, dan akhirnya
bermuara pada menciptakan kesadaran itu sendiri, sebagai aktivitasnya. Kesadaran
yang muncul akan berupa kesadaran reflektif dan kesadaran nonreflektif (Sartre),
setelah itu tumbuhlah penghyatan akan kehidupan.
Keberadaan manusia tidak terlepas dari
dunianya. Manusia terlibat , terikat, komitmen, dan akrab didalam dunianya
tersebut. Dunia yang dimaksud bukan hanya lingkungan fisik material semata,
melainkan dunia manusia itu sendiri, dunia pengalaman hidup keseharian.
Objek-objek disekitar manusia menjadi objek yang berarti setelah kita fikirkan (Heidegger). Semua
objek yang ada mempunyai kaitan satu dengan yang lain membentuk suatu sistem
termasuk manusia itu sendiri. Dengan demikian keberadaan manusia selalu
bertumpu pada orang lain dan lingkungan fisik
material yang lain.
Keberadan manusia sebagai makhluk yang
bebas, ternyata selalu dihadapkan dengan daya tarik benda disekitarnya. Benda
mempunyai daya tarik dan daya pikat yang luar biasa besar, yang mampu menjerat
dan menghancurkan kebebasan (Sartre). Benda-benda menjadi lawan tunggal dari
kebebasan. Benda-benda kadang memperbudak
sehingga kebebasannya terenggut, bahkan benda-benda itulah yang menjadi manusia
berserah diri. Akibat dari itu semua timbulah konflik antara kebebasan dan
keterikatan.
B. Manusia
Berfilsafat
Manusia adalah makhluk pemikir. Oleh
karena itu dengan akal fikirannya, ia memikirkan dirinya dan lingkungannya.
Keduanya selalu merupakan pusat perhatian dirinya guna mencari pembenaran dan
hakikat yang terkandung didalamnya, untuk kepuasan dan pemenuhan hasrat keingintahuan
dalam dirinya. Manusia mempertanyakan
hakikat keberadaan dan lingkungannya dan kaitan-kaitan antara dirinya
dan lngkungannya itu. Jawaban-jawaban akan hal itu membentuk suatu ide atau
pemikiran yang sementara memuaskan dirinya.
Yang
menjadi penyelidikan filsafat adalah segala objek yang ada dan yang mungkin ada
dan tidak terbatas. Penyelidikan filsafat terus menerus bekerja hingga
persoalan serta pertanyaan dapat ditemukan jawabannya. Penyelidikan dilakukan
dengan sedalam-dalamnya sampai akar masalahnya bahkan sampai hakikatnya. Penyelidikannya
juga menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, sehingga hasil yang didapatnya
berupa dugaan-dugaan logis, masuk akal dan rasional, meskipun bukan sesuatu
yang pasti.
Penemuan-penemuan
ahli filsatfat sekarang umumnya sudah disusun secara teratur dan dikenal dengan
struktur filsafat. Struktur filsafat meliputi teori pengetahuan (epistimologi
dan logika), teori hakikat (ontologi, kosmologi, antropologi, theodecia, dan
lain-lain), dan teori nilai(etika dan estetika).
Pengetahuan
manusia secara epistimologi memiliki sumber-sumber :
1. Empiris
dengan aliran empirismenya, yang
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan diperoleh dari penglaman, melalui perantaraan
indra . Tokoh utamanya John Locke.
2. Rasio
dengan aliran rasionalismenya, yang menyatakan bahwa sumber pengetahuan
terletak pada akal, melalui ide pada fikiran. Tokoh utamanya Descrates.
3. Fenomena
dengan aliran fenomeologinya, yang menyatakan sumber pengetahuan lahir dari
pengalaman. Tokoh utamanya Imanuel Kant.
4. Intuisi
dengan aliran intusionismenya, sumber pengetahuan didapat dengan idak perlu
mengalami sesuatu secara keseluruhan cukup dengan intuisi. Tokohnya Bergson.
5. Metode
ilmiah yang merupakan penggabungan dari pengalaman dan akal sebagai pendekatan
bersama.
Cabang logika bisa diartikan sebagai
ilmu yang memberikan aturan-aturan berfikir valid. Prinsip-prinsipnya harus
diikuti, untuk mendapatkan kebenaran yang normatif. Kebenarannya meliputi
kebenaran bentuk (formal logic/self consistency) dan kebenaran materi (material
logic).
Dalam teori hakikat adalah keadaan
yang sebenarnya dari sesuatu bukan keadaan sementara yang selalu berubah.
Penyelidikannya sangat luas mencakup segala sesuatu yang ada maupun yang
mungkin ada.
1. Ontologi,
yang membicarakan sesuatu yang ada, dengan cabangnya :
a. Materialisme
yang menyatakan bahwa atom adalah materi tersendiri yang membentuk alam, akal
dan kesadaran adalah proses fisikal semata. Alam semesta dapat ditafsirkan
seluruhnya dengan sains fisik.
b. Idealisme
yang menyatakan realitas terdiri dari ide, fikiran, akal, dan jiwa bukan
material dan kekuatan
c. Dualisme,
yang memadukan dua faham diatas yang saling bertentangan
d. Agnoticisme,
yang menyatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik
kenyataan
2. Kosmologi
yang membicarakan hakikat asal, susunan, dan perubahan, serta tujuan akhir dari
jagat raya.
3. Antropologi, yang membicarakan hakikat dari manusia itu
sendiri sebagai kesatuan totalitas.
4. Theodecia,
yang membicarakan tentang dasar-dasar ketuhanan dan hubungan manusia dengan
Tuhan. Dimulai dari monotheisme, trinitheisme, politheisme, pantheisme, sampai
atheisme, serta agnotisisme.
Teori nilai merupakan kerangka
ketiga, yang mencakup etika dan
estetika. Etika membicarakan tentang kewajiban-kewajiban manusia serta tingkah
laku manusia dilihat dari segi baik dan
buruknya tingkah laku tersebut.
Sedangkan estetika mengkhususkan akan nilai dari keindahan. Dalam etika
dipersoalkan norma-norma, hak dan wewenang, sehingga dengannya membantu manusia
menjadi lebih otonom. Bidang moral merupakan kajian dari etika melalui
pendekatan empiris, fenomenologi, normatif, dan metaetika. Tiga cabang dari
etika diantaranya :
1. Etika
Normatif
-
Betul salahnya sesuatu tindakan tidak
dapat ditentukan dari akibat tindakannya (deontologis)
-
Betul tidaknya suatu tindakan tergantung
dari akibatnya (teleologis)
-
Akibat dari perbuatan bagi kepentingan
pribadi (egoisme etis)
a. Hedonisme
: kebaikan dapat memberikan rasa nikmat bagi manusia
b. Eudemonisme
: segala tindakan manusia ada tujuannya
2. Etika
Utilitarisme
-
Utilitarisme tindakan : manusia mesti
bertindak untuk menghasilkan suatu kelebihan akibat baik daripada akibat buruk
-
Utilitarisme peraturan : bertindak
selalu sesuai dengan kaidah yang penetapannya menghasilkan akibat daripada
akibat buruk
3. Etika
Teonom
-
Teonom murni : tindakan benar bila sesuai
dengan kehendak Tuhan
-
Hukum kodrat : baik buruk ditentukan
oleh Tuhan
Berbagai aliran filsafat yang muncul
hasil pemikiran manusia, diantaranya :
1. Rasionalis
Sangat mementingkan
rasio dalam membangun ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas diluar rasio
2. Empirisme
Memilih pengalaman
inderawi secara lahiriah maupun batiniah sebagai sumber utama pengetahuan
3. Kritisisme
Rasio memiliki
keterbatasan untuk mengetahui hakikat, pengenalan manusia akan sesuatu
diperoleh dari apriori (rasio, serta berupa ruang dan waktu) dan dari
aposteriori (penglaman yang berupa materi)
4. Idealisme
Realitas terdiri dari
ide, fikiran, akal, dan jiwa bukan benda material dan kekuatan. Bahwa akal
adalah yang paling utama dan lebih dahulu dari materi
5. Positivisme
Sama dengan empirisme
tetapi tidak menerima sumber pengalaman batiniah, jadi hanya mengandalkan fakta
belaka
6. Evolusionisme
Bentuk kehidupan
tercipta secara berangsur-angsur, perjuangan dan kelangsungan hidup bagi yang
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
7. Materialisme
Atom adalah materi
berada sendiri dan bergerak dan pembentuk alam dengan proses fisikal termasuk
kesadaran sebagai mode materi. Alam merupakan kesatuan material yang tak
terbatas selalu ada dan tetap ada, materi ada sebelum jiwa
8. Pragmatisme
Mengajarkan bahwa yang
benar terbukti dari akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis
9. Filsafat
Hidup
Filsafat adalah
kesadaran dan refleksi yang merujuk pada data yang langsung dari intuisi
10. Fenomenologi
Untuk menemukan
pemikiran yang benar harus kembali pada benda itu sendiri, hakikat tidak
tergantung pada orang yang membuat pertanyaan, tapi ditentukan oleh benda-benda
itu sendiri
11. Sekulerisme
Mencari kemajuan
manusia dengan materi semata tanpa campur tangan dan pembebasan manusia dari
segala yang bersifat keagamaan dan metafisika.
C. Mengapa
berfilsafat
Manusia
adalah makhluk yang dapat berfikir. Dengan dimilikinya kemampuan akal
fikirannya manusia mampu menemukan dan memecahkan masalah-masalah yang dialami,
dirasakan dan dilihat oleh manusia itu sendiri. Dengan fikirannya anusia secara
naluriah mempertanyakan keberadaan diri dan lingkungannya. Fenomena yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari menarik untuk diselidiki dan diketahui apa
makna dan hubungan dengan dirinya dan lingkungannya itu. Manusia selalu menemukan
fenomena yang muncul setiap saat. Kadang fenomena itu tidak sesuai dengan hati
nuraninya atau keinginannya, sehingga ia mempertanyakannya, mengapa ini/itu
terjadi. Ia mencari hakekat dari semua ini. Sebagai makhluk sosial ia juga
memikirkan manusia lain diluar dirinya. Manusia diluar dirinya jauh lebih
beragam dari dirinya. Semua itu menjadi objek penelitian yang dicari
hakikatnya. Jawaban sementara merupakan pengetahuan yang dicapai untuk
menemukan hakikat atau pembenaran dari sesuatu. Tetapi tidak berakhir sampai
disitu, pergulatan terjadi terus menerus untuk mencari hakikat yang belum
terpecahkan.
Akibat
dari pemikiran yang terus menerus, maka timbulah berbagai ilmu pengetahuan
bahkan teknologi yang diperkirakan dapat membantu manusia untuk menjawab dan
melayani persoalan dalam kehidupannya. Dengan ilmu yang dimilikinya manusia
berusaha untuk menyenangkan dan memudahkan dirinya dan kehidupannya. Akibatnya
timbul aturan-aturan atau hukum untuk mengatur dirinya dan lingkungannya agar
selaras dengan hasil pemikirannya. Perkembangan pemikirannya menuntut manusia
memperbaharui terus menerus aturan dan hukum yang berlaku untuk memenuhi
tuntutan yang juga lebih beragam.
Hakikat
hidup dan kehidupan yang terus menerus difikirkan itulah jalan filsafat. Jalan
ini ditempuh dengan berbagai cara dan metode, yang dikperkirakan sesuai dengan
fenomena yang dihadapi. Keyakinan akan hasil pemikirannya inilah yang
mempengaruhi ilmu pengetahuan yang dihasilkan sehingga satu dengan yang lainya
berbeda tergantung siapa orang yang menemukannya. Pendapat mana yang dipakai
tergantung dari penalarannya setelah mendapat ilmu pengetahuan baik dari hasil
pemikirannya, maupun hasil pemikiran orang lain.
Sifat
manusia yang belum merasa cukup puas setelah mendapatkan apa yang sudah ada
atau yang sudah diraih, selalu ingin mendapatkan hal-hal yang baru yang masih
ada didalam fikirannya. Manusia berusaha memikirkan dan menuangkan idenya agar
segera memuaskan hasratnya hidup dan kehidupannya. Ia terus mencari jawaban
atau hakikat dan menelurkan pengetahuan yang terlepas dari apa yang telah ia
peroleh.
Jadi
manusia berfilsafat intinya adalah untuk melayani keinginan untuk menjawab
hidup dan kehidupannya didunia, agar ia dapat ada terus menerus didunia ini.
Lebih jauh hidup dan kehidupannya lebih bermakna dan mempunyai arti bagi diri
dan lingkungannya. Hakikat hidup dan kehidupan berusaha dimaknai sebagai menuju
kesempurnaan.
D.
Masa
kini
Kita mengenal
filsafat sekarang melalui karya-karya besar filsuf dari zaman ke zaman.
Masing-masing zaman menunjukan keadaan masyarakat pada saat itu dan filsafat
yang berkembang pada saat itu pula. Filsafat yang dipelajari sedikit banyak
mempengaruhi diri kita pada sikap dan pandangan kita menghadapi suasana masa
kini. Pengetahuan pun berkembang sangat pesat, memungkinkan kita mengenal lebih
banyak dan lebih mudah mendapatkan hal-hal yang baru yang membawa ke arah
perubahan yang baru. Pengetahuan yang beragam membawa manusia pada pembaharuan
teknologi yang dipakai untuk kebutuhan manusia pada saat ini.
Kebutuhan
manusia pada saat ini akan berbagai pemenuhan untuk dirinya dan hasratnya,
membawa ke perbagai usaha untuk mengadakan alat pemenuhannya. Dari waktu ke
waktu terus bertambah dan berubah. Maka kebanyakan masyarakat umum sudah tidak
memikirkan lagi hakikat keberadaan dirinya. Manusia lebih cenderung pada
bagaimana memuaskan hasrat hidup dan kehidupannya. Fikirannya terfokus pada
bagai mana ia hidup untuk kehidupanya.
Untuk para
pemikir dunia yang sudah bentuk seperti ini, baik secara material dan
kenyataannya tetap dipertanyakan dan membutuhkan jawaban-jawaban akan hakikat
yang terjadi dan mengapa terjadi. Maka dari waktu ke waktu, dari masa ke masa
tetap menjadi pembicaran dan pemikiran, serta pengembaraan yang tetap menarik,
yang perlu dicari dan dilakukan penyelidikannya agar didapatkan pengetahuan
untuk masalah masa kini dan solusinya dimasa kini dan solusi dimasa datang.
Jadi seorang yang merasa berfikiran sebagai filsuf atau seorang pemikir tetap ada lahan untuk
mengembangkan kerangka berfikir untuk menjawab tantangan yang ada dihadapannya.
Tinggal langkah dan pijakan mana yang ia pakai sebagai landasan keilmuanya atau
membangun ilmunya. Sehingga pencarian akan hakikat tetap dapat dicari, sampai
batas akal fikirannya bisa mencapai pada batas yang tertinggi yang dapat
memuaskan pada hasrat pencariannya.
Daftar Rujukan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ahmad Tafsir, Prof.
Dr. Filsafat Umum, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2012
|
|
|
|
Juhaya, S. Praja,
Aliran-Aliran Filsafat, Jakarta, Prenada Media, 2008
|
|
|
|
|
Lloyd Gerson, History of Phylosophy in Late Antiquity,
Cambridge,
Cambridge University
Press 2010
|
|
Louis O. Kattsoff
(alih bahasa Soejono Soemargono), Pengantar
Filsafat, Yogyakarta,
Tiara Wacana, 2004
|
Zainal Abidin, Filsafat
Manusia, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2011
|
|
|
|
|